Begini Respons Senator Filep Soal Isu Perdagangan Karbon, Simak
“Analisis peta tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 1990-2017 menunjukkan bahwa total luas hutan rawa di Provinsi Papua Barat pada tahun 1990 seluas 748.317 Ha terdiri dari hutan rawa primer (HRP) seluas 688.054 ha dan hutan rawa sekunder (HRS) seluas 60.263 ha. Dari analisis terhadap hutan rawa saja, dapat diketahui bahwa stok karbon hutan rawa Provinsi Papua Barat berdasarkan faktor emisi KLHK selama 27 tahun (1997-2017) sebesar 801.463.291 ton C terdiri dari 92 persen HRP dan HRS 8 persen. Di sinilah potensi perdagangan karbon menjadi makin nyata,” ujar Senator Filep seperti dilansir JPNN.com pada Sabtu (11/5/2024).
Baca Juga:
Dia pun menyebutkan sejumlah dasar hukum terkait perdagangan karbon dalam rangka mengurangi emisi, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Perubahan Iklim) (UU No. 17/2004).
Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU OJK).
Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (UU Nomor 16/2016); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK); Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres No. 98/2021).
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik (Permen ESDM No. 16/2022); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (Permen LHK No. 21/2022); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan (Permen LHK No. 7/2023); dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK No. 14/2023).
“Dalam perdagangan karbon, emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Dari Permen Nomor 21 Tahun 2022, diketahui bahwa para pelaku perdagangan karbon terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha/perusahaan, dan masyarakat,” kata Filep.
“Indonesia pernah menghasilkan Bali Action Plan pada 2007. Namun, Bali Action Plan ini tidak menyebutkan komitmen dan besaran kompensasi yang diterima daerah dengan hutan yang luas. Bali Action Plan menghasilkan terbentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI], yang pada 2015 dibubarkan oleh Presiden Jokowi dan dileburkan dalam KLHK. Lalu, pemerintah daerah sebagai pihak yang berwenang mengelola Area Penggunaan Lain (APL) bisa melakukan perdagangan karbon,” ujar Filep.
Namun, kata Filep, kerja samanya hanya bisa dilakukan melalui pemerintah pusat. Sedangkan, pelaku usaha yang melakukan perdagangan karbon harus mencatat produksi emisi dan penurunan emisi ke Sistem Registri Nasional (SRN) yang ada di KLHK.
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma merespons isu perdagangan karbon atau carbon trading yang belakangan makin banyak dibicarakan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News