Senator Filep Pertanyakan DBH Sawit Bagi Masyarakat Adat Papua dan Pemda
Mendukung pernyataan itu, Filep mengatakan Data BPS Papua Barat mencatat bahwa pada tahun 2019-2021, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah Sorong Raya yang merepresentasikan penduduk usia kerja belum terserap pada lapangan kerja di Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi setelah Kota Sorong.
Begitu pula dengan angka rasio gini, data BPS Papua Barat menunjukkan angka Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi dengan rerata sebesar 0.43 sejak tahun 2019 - 2021 antarkabupaten/kota di Papua Barat.
Rasio gini ini digunakan untuk menginformasikan ketimpangan pendapatan penduduk dalam suatu wilayah.
“Apakah pemerintah daerah dan masyarakat adat telah memperoleh Dana Bagi Hasil dari pajak perkebunan kelapa sawit dari kedua perusahaan tersebut? Kalaupun belum, maka sangat disayangkan. Mengingat dampak sosial, ekonomi, dan ekologinya ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah,” ujar Filep.
Selain itu, senator Papua Barat ini menjelaskan perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat menjadi sektor penghasil uang yang besar di daerah.
Terlebih, data Kementan menunjukkan luas lahan perkebunan dan produksi kelapa sawit di Papua dan Papua Barat terus meningkat tiga tahun terakhir.
“Selain manfaat ekonomi yang relatif kecil, konsekuensi ekologi dari menurunnya daya dukung lingkungan jelas ditanggung oleh masyarakat lokal. Tentu kita tidak menginginkan adanya konflik horizontal akibat kondisi ini,” kata Fiep.
Menurut Filep, masyarakat adat Suku Afsya di Kampung Bariat, Distrik Konda, dan masyarakat adat Tehit terdampak di Sorong Selatan (Sorsel) yang sejak awal tetap menolak izin perusahaan, menolak keberadaan dan rencana aktivitas perusahaan kepada sawit PT Anugerah Saksi Internusa,” ujar Filep.
Senator Filep Wamafma mempertanyakan dampak Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat Papua dan pemerintah daerah.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News